Thursday, April 19, 2007

Menanamkan Sikap Persaudaraan Kaum Muslimin

Menanamkan Sikap Persaudaraan Kaum Muslim Ust. Ahmad Baraghbah

Pada awal pembicaraan saya ini, saya akan memulai dengan sebuah riwayat yang nampaknya diakui kesahihannya oleh ulama-ulama besar kita. Setidaknya ini bisa dilihat pada kitab Al-Mahajjat Al-Baidha fi Tahdzib Al-Ihya' sebuah komentar dari ulama Ahlul Bait atas kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali.

Di tengah-tengah pembahasan mengenai haji dan rahasia-rahasianya, dinukil sebuah hadis yang menyatakan : "Nanti di akhir zaman, orang-orang yang pergi haji itu ada empat golongan. Yang pertama, para penguasanya yang pergi hajinya itu untuk piknik saja, untuk berdarmawisata. Yang kedua, orang-orang kaya yang pergi berhajinya untuk kepentingan bisnis. Yang ketiga, orang fakir miskin yang pergi berhajinya itu untuk meminta-minta, untuk mencari rezeki di sana. Yang keempat, ahli-ahli qari, yakni ulama yang pergi berhaji untuk sum'ah." Sum'ah adalah saudara kandung riya'. Kalau riya' ingin dipuji orang karena dilihat, sedang sum'ah ingin dipuji orang karena didengar.

Itulah pernyataan dari Rasulullah Saww, tapi ada orang yang mengatakan sekarang bukanlah akhir zaman. Itu akan terjadi pada akhir zaman [di mana muncul empat golongan manusia yang berhaji]. Bahkan sebetulnya bukan di akhir zaman saja, karena riwayat yang cukup terkenal dari Imam 'Ali Zainal 'Abidin As-Sajjad as. menunjukkan bahwa ketika beliau melihat banyak orang orang yang menunaikan ibadah haji, beliau mengatakan, "Alangkah banyaknya hiruk-pikuk, tapi alangkah sedikit yang pergi haji."

Kita mengetahui bahwa misi Rasulullah Saww diutus ke dunia ini antara lain sebagai yang membawa kabar gembira dan memberi ancaman. Kita kaum Muslimin harus seimbang berada di tengah-tengah antara takut dan harapan. Kita berharap mendapatkan rahmat, ampunan, dan cucuran pertolongan dari Allah Swt., tapi kita pun harus khawatir jangan-jangan ibadah kita ini semua ditolak oleh Allah Swt. Karena ada riwayat terkenal yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saww. sendiri ketika akan menghadap Allah, shalat, wajah suci menjadi pucat.

Imam 'Ali Zainal Abidin dan juga tokoh-tokoh besar yang lain, diceritakan dalam kitab-kitab sejarah begitu bergetar dan pucat pasi wajahnya ketika akan mengucapkan talbiyah misalnya Labbaik Allahumma labbaik. Ketika ada yang bertanya kepada Imam 'Ali Zainal 'Abidin, "Kenapa Anda ini pucat bahkan sampai pingsan ?" Imam As-Sajjad menjawab, "Aku khawatir ucapanku ini ditolak oleh Allah Swt."

Semakin manusia mencapai puncak keimanannya, kepada maqam yang sangat tinggi, semakin dia merasa takut kepada Allah Swt. dan sebaliknya semakin rendah kedudukan manusia, semakin tidak punya rasa takut kepada Allah Swt. Karena itu, kita melihat bagaimana Rasulullah Saww. senantiasa beristighfar puluhan kali bahkan ratusan kali kepada Alah Swt. Kita, kalau membaca doa Kumayl, misalnya, betapa Amirul Mukminin begitu menampak-kan" dosanya", menampakkan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Padahal kita tahu bahwa beliau termasuk manusia suci, ma'shum, manusia yang dibersihkan [dari dosa dan kesalahan] oleh Allah Swt. Tapi semakin bersih manusia itu, semakin dia merasa banyak berlumuran dengan dosa. Yang bahaya adalah ketika manusia sudah merasa dirinya suci, merasa dirinya bersih. A'udzubillahi min dzalik.

Jadi, ibadah itu saling berkaitan. Tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya. Terutama ibadah haji. Ibadah haji termasuk ibadah yang lengkap. Saya sebetulnya tidak akan membahas soal haji. Namun, karena kebetulan, saat ini sedang diributkan soal haji. Dalam ibadah haji, ada ibadah shalat, jihad, pengorbanan, sedekah, bahkan dalam beberapa hal diwajibkan berpuasa.

Ibadah haji adalah ibadah yang lengkap karena didalamnya ada itsar yakni mementingkan orang lain dan kita perhatikan bagaimana syariat mengajarkan kepada umat ini supaya ibadah ini jangan kosong, atau hampa. Tapi harus ada maknanya. Yang penting semua ibadah ini mengantarkan manusia kepada kesucian jiwa dan kebersihan hati. Karena hal itu misi Rasulullah juga. Bahkan dalam surat Al-Jum'ah, misi untuk menyucikan jiwa didahulukan daripada mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah. Nampaknya tidak mungkin Al-Kitab dan Al-Hikmah itu masuk dalam hati sanubari seseorang, kalau jiwanya belum bersih.

Saya ingin menyampaikan secara ringkas isi kitab yang ditulis oleh seorang alim besar, Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu. Beliau meninggal dalam usia yang cukup muda.

Pernah murid-murid dekat beliau menceritakan bahwa beliau pernah menyampaikan pengalamannya yang bermimpi berjumpa dengan Imam Musa Al-Kazhim. Perlu diketahui beliau tinggal dekat makam Imam Musa Al-Kazhim di Kazhimiyyah, Baghdad. Dalam mimpinya, Imam Musa menghadiahkan sebuah pena, lalu me-ngatakan : : "Tulislah !" Hal itu pernah beliau ceritakan kepada murid-murid de-katnya dan ternyata me-mang betul bahwa mung-kin ratusan karya tulis be-liau ini, yang sampai sekarang banyak jadi rujukan di kalangan Hau-zah Ilmiyyah, di kalangan masyarakat Ahlul Bait. Jadi beliau menulis tentang akhlak yakni mengenai ba-gaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama ikhwan. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syari'ah, ternyata perlakuan kepada sesama ikhwan ini juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam.

Dikatakan di sini ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dengan al-ikhwan dan juga dalam persahabatan. Hadis terkenal menyebutkan : "Mukmin itu saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya."

Dan pengertian akh (ikhwan) di sini diterangkan, bagaimana disebutkan kelanjutan dari hadis itu, "Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya." Kemudian, "Terkutuklah orang yang menipu saudaranya." Kemudian berikutnya, "Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya." Dan yang terakhir, "Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya."

Ini mungkin sudah sering kita dengar dan begitu berat memang. Karena itulah bagaimana kita selalu merasa berdosa, bagaimana kalau kita berdoa kita meneteskan air mata kita, karena kita khawatir kita tidak akan mampu menunaikan kewajiban kita terhadap sesama ikhwan.

Terkutuklah yang tidak mau menasihati saudaranya dan tentunya lebih terkutuk lagi, kalau sudah dinasihati tidak mau menerima. Namun tentunya tidak etis kalau seorang saudara itu kerjanya menasihati saja. Sedikit-sedikit nasihat, sedikit-sedikit nasihat. Jadi nasihat ini pun mesti pada tempatnya. Segala sesuatu itu mesti pada tempatnya. Barang yang jelas-jelas baik sekalipun, kalau diletakkan bukan pada tempatnya jelas menjadi terbalik.

Di sini yang pertama sekali disebutkan oleh beliau adalah masalah harta, masalah al-maal. Bagaimana kita bersikap terhadap harta kita dalam hidup bersama-sama dengan ikhwan. Beliau sebutkan ini ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Namun setelah kita baca nampaknya yang paling rendah pun kita susah untuk melaksanakannya.

Yang paling rendah adalah disebutkan di sini, kita anggap ikhwan kita ini, saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta.

Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Yang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 1500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 700, 00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah.

Yang menengah, tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada ikhwan kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua.

Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun dia sangat memerlukan. Sifat itsar ini hanya dimiliki para nabi dan para wali. Mungkin orang-orang selain nabi dan wali itu bisa itsar, tapi belum sampai kepada tingkatan malakah. Masih hal saja. Mungkin hari ini itsar, besok tidak lagi. Besoknya itsar, besoknya tidak lagi. [Jadi sifatnya temporal]. Kalau sudah jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya.

Kemudian yang berikutnya disebutkan di sini, berusaha membantu dengan segenap jiwanya dalam menunaikan hajat saudaranya dan ini pun bertingkat-tingkat. Ada orang yang mau membantu kalau diminta saja. Ada yang dia sudah tahu tanpa diminta dia membantu. Tentu derajatnya lain. Dan hadirin sekalian tentang menunaikan hajat orang Mukmin ini, wah sangat besar sekali pahalanya. Maka menunaikan hajat seorang Mukmin itu sepuluh kali lipat pahalanya daripada thawaf. Terdapat hadis-hadis di kalangan Ahlul Bait yang mengatakan demikian.

Diceritakan ada seorang yang ingin minta tolong kepada Imam Husain as., tapi kemudian dia lihat Imam Husain sedang melakukan thawaf, dia tidak jadi mengutarakan kebutuhannya. Lalu dia pun menghadap Imam Hasan as., kakak Imam Husain. Tidak disebutkan keperluannya apa, rupanya masalah yang cukup besar ini, kok harus Imam ini, harus cucu Rasulullah yang menunaikannya. Lalu ketika dia berjumpa dengan Imam Hasan dia mengatakan, "Sebetulnya saya tadi akan menyampaikan hajatku ini kepada adikmu, Al-Husain. Namun saya lihat dia sedang melaksanakan thawaf, akhirnya tidak jadi", kata Imam Hasan, "Seandainya kausampaikan hajatmu kepada adikku Al-Husain, pasti dia

akan memutuskan thawafnya dan akan menunaikan hajat-mu."

Dalam hadis lain di-sebutkan bahwa kalau seorang Mukmin didatangi saudaranya yang memerlukan bantuan kemudian dia tidak mampu sehingga dia menjadi sedih ka-rena tidak mampu untuk mem-bantu saudaranya ini, kata Rasulullah, Allah akan mema-sukkan dia ke surga dengan pe-rasaan sedihnya. Jadi perasaan sedih dengan perasaan sumpek ini penyakit orang Mukmin, bahkan penyakit para nabi. Tapi sumpeknya bukan sampai kepada tingkatan stress oleh karena tidak ada rezeki misalnya. Namun sumpeknya tadi, misalnya, tidak dapat menunaikan hajat orang Mukmin, tidak dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah, terhadap Islam. Itulah kesedihan orang Mukmin. Namun orang Mukmin itu katanya kesedihannya cuma di hati saja, bahagianya cuma di muka saja. Jadi kalau sedih berusahalah jangan ditampak-tampakkan sedang murung, tampakkanlah bahagia walaupun hati kita sedang sedih bukan main. Jadi, itulah perihal memenuhi hajat orang Mukmin.

Yang ketiga yang disebutkan oleh beliau adalah kita harus menjaga lisan. Jangan menyebut-nyebut ke-lemahannya, menyebut-nyebut aibnya baik di hadapannya apalagi di belakangnya. Kemudian usahakan jangan mempersoalkan hal-hal yang membuat perdebatan, ke-cuali memang betul-betul itu dilandasi karena Allah Swt. Ini yang beliau tulis bukan tambahan dari saya. Kemu-dian juga menjaga rahasia-rahasianya, jangan diungkap begitu saja.

Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, "Ada tiga golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari 'Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt."

Pertama adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali.

Yang kedua, meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada ikhwan. Wasiat dari ulama-ulama besar kita adalah usahakan hidup Anda ini penuh khidmat kepada sesama ikhwan. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya. Saudara-saudara mungkin sudah membaca tulisan Syahid Muthahhari, kisah zaman Rasululah ketika Rasulullah pergi bersama-sama sahabatnya. Ada yang sibuk ibadah, ada yang sibuk menyiapkan makanan bagi sahabat-sahabatnya. Kata Rasulullah, yang ini [menyiapkan makanan red.] lebih afdhal daripada yang sibuk shalat, sibuk zikir, sibuk doa. Ini kedudukan khidmat, melayani sesama ikhwan.

Kemudian yang ketiga adalah menjaga rahasianya. Jadi yang menjaga rahasia saudaranya itu akan dijamin mendapatkan perlindungan dari Allah Swt. Memang sebetulnya masalah-masalah ini perlu penjelasan yang cukup. Cukup luas mestinya, namun ini secara umumlah bahwa kita harus menjaga kehormatan saudara kita. Kita harus menjaga betul martabatnya. Kalaupun kita mesti mengingatkan, ingatkanlah itu dengan Islam. Islam ini pun ada syariat bagaimana mengingatkan saudaranya. Memang, terus terang, itulah yang sering kita ratapi ikhwan sekalian. Jadi, masalah menjaga rahasia saudaranya ini, itu sangat dijunjung tinggi. Dalam hadis lain, "Barangsiapa yang mencari-cari kelemahan saudaranya, Allah akan menyingkap aibnya di hadapan banyak orang di padang Mahsyar nanti." Ini hadisnya juga banyak sekali, Juga menjaga terhadap orang-orang dekatnya, keluarganya dan lain-lain. Inilah hak seorang saudara, bukan kita bersikap kepada dia saja tapi termasuk kepada orang-orang dekatnya, kerabatnya, dan lain sebagainya.

Yang keempat disebutkan di sini bahwa dia berusaha menunjukkan bahwa dia itu mencintai sau-daranya. Ini sering memang guru-guru kita mencontohkan kalau apa-apa itu mungkin di Indonesia kurang wajar, tiba-tiba mengatakan : "Saya mencintai Anda." Ini pantasnya diutarakan bukan kepada sesama jenis, padahal itu yang dianjurkan. Kalau-kalau mencintai saudaramu, katakanlah kepada dia bahwa kamu mencintainya. Kita tunjukkan cinta kita, tentu bukan dengan lisan saja dengan bukti-bukti nyata bahwa kita mencintainya. Cinta yang sebenar-nya yaitu kalau saudara kita salah, kita betulkan dengan cara yang baik, kalau dia betul kita dukung. Itulah yang ada dalam syariat.

Dalam hadis dikatakan bahwa orang Mukmin itu adalah cermin dari saudaranya. Artinya, ketika berjumpa, bergaul, dia seakan-akan melihat dirinya sendiri, tidak menipu sama sekali. Jadi carilah teman yang betul-betul bagaikan cermin diri kita. Dalam kitab lain juga disebutkan bahwa kalau seandainya kita tidak dapat menemukan sahabat yang betul-betul baik, maka hidup sendiri lebih baik daripada bersahabat dengan sahabat yang tidak kenal.

Ulama kita sering memberi perumpamaan, manusia itu umumnya bagaikan air yang belum mencapai kurr yang gampang kena najis. Kena najis sedikit saja, saudara-saudara kalau belajar fiqih, bila air belum sampai kurr kira-kira 374 liter. Kalau dengan syibr, jengkal, kira-kira tiga setengah lebar kemudian panjang tiga setengah, dalam tiga setengah, berarti itu sudah satu kurr. Kalau kurang dari satu kurr kena najis sedikit saja walaupun tidak berubah apa-apa airnya.Itu najis semua airnya. Tapi kalau lebih dari satu kurr selama air itu tidak berubah, maka tidak najis. Jadi ulama-ulama kita sering mengumpamakan ke-banyakan manusia ini bagaikan air yang belum satu kurr, karena itu berhati-hatilah dalam bergaul.

Ini artinya tabiat atau watak kawan itu sangat berpengaruh sekali. Ini umumnya manusia. Tapi umumnya manusia mengatakan saya tidak mungkin terpengaruh, kan begitu, padahal umunya gampang terpengaruh. Karena itu sangat menyedihkan sekali kalau kita hidup dalam lingkungan yang tidak Islami, lingkungan yang tidak mendukung sedikit demi sedikit, nah masuk teman-teman yang baru datang dari Hauzah Ilmiyah, misalnya, merasakan betul tanpa disadarai tiba-tiba kok lain saya sekarang dengan waktu saya belajar dulu misalnya, sudah berbeda suasananya tanpa disadari lingkungan ini rupanya sudah berpengaruh dalam dirinya. Karena itu lebih baik dikatakan oleh ulama-ulama kita, lebih baik hidup sendiri kalau tidak mampu mendapatkan teman yang hakiki, teman yang sebenarnya.

Dalam fakta sejarah ada hal yang menarik. Saya ingat betul saya pernah sampaikan di Bandung ini dalam kesempatan yang lain bahwa kenapa Rasulullah Saww. ketika mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar tidak ada orang lain yang diambil saudara bagi Rasulullah kecuali Imam 'Ali bin Abi Thalib. Ini fakta sejarah, semua mengakui si fulan dengan si fulan, si anu dengan si anu. Ya, Muhajirin dan Anshar semuanya dipersaudarakan, tapi kenapa Rasulullah hanya mengambil 'Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Nampaknya karena Rasulullah merasa yakin hanya dengan 'Ali bin Abi Thalib saja yang dia tidak mungkin berkhianat; yang tidak mungkin menjelek-jelekkan di belakang, yang tidak mungkin mengingkari janjinya.

Demikianlah Rasulullah yang mengajarkan kepada kita bagaimana hakikat seorang akh (ikhwan), seorang ikhwan itu. Dari peristiwa itu kita tahu yang lain-lain itu masih dikhawatirkan jangan-jangan berkhianat, jangan-jangan bicara yang tidak-tidak di belakang. Ini memang karena fakta yang sampai kepada kita demikian. Karena itu yang paling dibanggakan oleh Imam 'Ali. Beliau mengatakan, "Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasul." Kalimat ini yang paling dibanggakan oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib as. Jangan sampai masyarakat kita ini masyarakat yang kuat hujjahnya saja, kuat doktrin-doktrin ilmiahnya, namun penerapan dalam hidup bermasyarakat masih banyak kelompok lain yang jauh lebih baik daripada kita.

Kaum Muslimin secara umum masih belum menunjukkan sebagai masyarakat yang betul-betul menerapkan doktrin-doktrin Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Namun kita bisa saja membela diri, memamg susah sekali menerapkan doktrin-doktrin Islam yang begitu mulia dan luhur itu, memang susah sekali namun tetap ada terwujud walaupun jumlahnya sedikit. Kalau banyak bukan contoh lagi namanya. Biasanya kan yang disebut contoh sedikit. Namun kalaupun kita tidak

mendapatkan yang seratus persen, yang tujuh puluh persen pun Alhamdulillah. Tapi perlu saya ceritakan juga di sini ada seorang ulama besar yang dia punya anak. Di bertanya kepada anaknya, "Besok kamu kalau sudah besar, mau jadi apa ?" Anaknya menjawab, "Ingin jadi seperti antum, ya abah, saya ingin jadi seperti kamu wahai ayah, seperti engkau." Kata ayahnya, "Kalau begitu enggak mungkin kamu jadi seperti aku." "Lalu bagaimana ?" tanya anaknya. "Saya dulu," kata ayahnya, "bercita-cita ingin menjadi seperti Imam Ja'far Ash-Shadiq. Jadinya seperti saya sekarang ini. Jadi kalau kamu ingin seperti aku, jadinya kamu seperti apa nanti?" Jadi memang mau mengejar target yang tinggi sekali.

Jadi yang kita sampaikan memang mulia sekali. Dapat lima persennya Imam Ja'far Ash-Shadiq saja sudah hebat sekali. Kalau mau ekstem, dapat nol koma nol sekian Sudah hebat sekali. Inilah yang kita tuju yakni bagaimana kita menerapkan doktrin-doktrin Islam ini dengan sebaik mungkin. Saya khawatir kalau saya baca semua juga sangat menjemukan. Tapi mudah-mudahan sebaik-baik pembicaraan itu yang sedikit dan yang langsung menuju kepada sasarannya. Mudah-mudahan ini saya tidaktahu apakah sedikit atau banyak, ini relatif sekali dan saya pikir juga ini belum menuju sasarannya. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mudah-mudahan ini tempat menjadi tempat yang sangat mulia, yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang sangat luhur dan kita betul-betul dalam rangka mempersiapkan tanggung jawab kita di hadapan Allah Swt. Kita harus persiapkan diri kita ini untuk orang-orang yang selalu siap mendengarkan dengan betul-betul. Mendengarkan betul-betul dengan perhatian, ucapan berupa nasihat, kritik, saran, kemudian mengikuti yang terbaik. Ini dalam rangka kita menyadari kelemahan diri kita. Kita menyadari segala macam kekurangan yang ada. Karena itu kita harus bersiap-siap untuk memperhatikan segala macam nasihat, ucapan-ucapan yang baik dengan berusaha mengikuti yang terbaik. [ ]



1 comment:

Anonymous said...

Artikel ini sangat menarik, terutama karena saya sedang mencari pemikiran tentang hal ini Kamis lalu subjek.